LUKA TAK TERMAAFKAN
Sab sudah tidak tahan lagi. Jun tidur dengan mendengkur halus sementara ia dan ketiga anaknya merintih, meminta suapan nasi. Saat Jun pulang tadi pagi, Sab lebih berharap Jun membawa uang, mengingat sudah hampir dua pekan ia tak pulang. Tentu ia sangat berharap, sebagaimana perempuan-perempuan yang ditinggal suaminya pergi ke kota, demi mendapatkan pekerjaan, apa pun jenis pekerjaannya, Jun akan membawa uang yang setidaknya mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.
Betapa geram dan remuk hati Sab ketika mendapati uang yang diberikan suaminya. Tidak lebih dari dua ratus ribu, untuk dua pekan. Selebihnya, selama berada di rumah, Jun akan lebih banyak main kartu di gardu, atau memancing di kolam milik Wak Sidiq. Sudah hampir dua bulan ini, Jun berlaku demikian. Ia tidak berusaha mencari uang lebih keras dan Sab harus memutar otak, bagaimana uang dua ratus ribu selama dua pekan. Semuanya naik. Yang penting ada beras.
Jun juga tidak peduli, ketika Sab harus mengurus tiga anaknya secara bersamaan. Terkadang di sela-sela memasak, si sulung yang baru berusia empat tahun merengek karena bertikai dengan anak salah seorang tetangga. Jika sudah demikian, Sab akan menarik tangan anak sulungnya, kemudian menguncinya di dalam rumah.
Anak kedua dan ketiganya terkadang ribut bukan main, dengan diakhiri si bungsu menangis dan kakaknya tertawa karena berebut mainan. Mainan mobil-mobilan dan pesawat yang separuh bagiannya telah rusak, sebelah rodanya hilang, yang Sab ambil dari tempat sampah dari salah satu komplek perumahan. Maka dengan kesabaran seorang dewa, Sab menghentikan kedua anak perempuannya dan memeluknya. Mereka akan akur dan bermain bersama lagi.
Suaminya tidak bisa diharapkan. Setiap kali pulang dari kota, ia akan langsung rebah di depan ruang tengah, setelah meminta dibuatkan kopi dan sarapan. Namun betapapun, suaminya tak pernah marah, seandainya Sab menghidangkan makanan yang jauh dari kata layak. Sab akan memberikan nasi dengan taburan garam dan irisan cabai. Jun akan tersenyum dan memakannya dengan lahap sebelum tertidur.
Sebagaimana yang dinasihatkan oleh ibu mereka, ketiga anak Sab adalah anak yang penurut. Mereka tak pernah menuntut, dan tak pernah mengusik ketika ayahnya telah tertidur. Mereka akan membiarkan ibu mereka yang membangunkannya, dibanding mereka berisik bukan main.
Sesekali mereka mengobrol bersama di ruang tamu, dengan teh atau kopi tanpa gula. Bagaimanapun, Sab harus bisa berhemat.
“Pekerjaan di kota semakin susah. Semakin banyak orang yang membaca peluang di sana. Aku telah menyusuri pasar demi pasar demi menjadi kuli panggul. Dan jumlahnya semakin semarak. Aku telah mencoba mencari pekerjaan lain, kuli bangunan, pemulung atau apa pun. Namun tidak ada yang menerima saya.”
Keluhnya suatu kali ketika mereka bercengkerama bersama.
Sab memaklumi. Seandainya mereka tidak menuruti gengsi, tentu mereka tidak akan mengalami kesulitan macam begitu. Pernikahan mereka digelar begitu meriah, dengan mengundang orkes, dengan menjual sawah demi memperlihatkan gengsi yang demikian megah. Jun tak ingin perkawinannya dilakukan secara sederhana. Ia ingin segalanya tampak meriah. Ia tak ingin dicap sebagai pemuda yang egois. Beberapa temannya menanggap orkes dengan biaya yang tak sedikit. Maka demi menuruti gengsi kepada teman-temannya ia mendatangkan orkes yang lebih baik. Jun tak memikirkan bagaimana kehidupan setelah pernikahan. meski Sab beserta keluarganya mendesak pesta pernikahan digelar sederhana saja, Jun menolak. Peristiwa sekali seumur hidup, harus dilaksanakan semeriah mungkin.
Maka setelah menikah, Jun kelabakan bukan main. ia telah kehilangan sawah. Kedua orang tuanya juga telah melepaskan diri karena Jun telah menjadi kepala keluarga.
Jun mencari kerja ke sana kemari, dan ia lebih banyak mendapatkan pekerjaan kasar. Kuli panggul di pasar, bertani, atau apa pun. Namun karena upah yang didapatnya tak sesuai dengan lelah yang dideranya, Jun sering kali mengeluh.
Kemudian Wak Kisno memberitahukan setiap dua minggu sekali, ada pekerjaan di pasar. belum ada kepastian uang yang didapatkan, tetapi jika terus tekun, bukan tidak mungkin mereka akan mendapatkan hasil yang cukup lumayan.
Jun ikut berangkat. Ia sudah lelah dengan kehidupannya di kampung yang begitu-begitu saja. Monoton dan membosankan.
Jun akan pulang dua minggu sekali, dengan uang yang tak pasti. Terkadang ia pulang dengan membawa 10 lembar uang seratus ribu, namun belakangan penghasilannya semakin menurun dan menurun. Sab sempat sekali ingin ikut bekerja membantu suaminya ketika itu, tetapi ia masih tak tega meninggalkan tiga anaknya yang sedang butuh perhatian.
Namun semuanya berubah ketika Sab mendengar secara tak sengaja beberapa orang yang membicarakan tentang suaminya. Ia punya simpanan. Tentu Sab senantiasa berpikir positif. Ia tak ingin hidupnya dipenuhi prasangka-prasangka.
Maka demi mencari kebenaran apa yang dibicarakan teman-teman suaminya, Sab diam-diam mengikuti Jun selama pergi ke kota dalam mencari pekerjaan. Ia akan meminta tolong salah seorang penduduk untuk mengantarkannya. Sab tak peduli jika ia harus mengeluarkan uang yang lebih banyak. Ia hanya ingin tahu kebenaran yang ia terima dari salah seorang penduduk tentang berita miring itu. Sab menggadaikan perhiasan simpanannya yang digunakan sebagai maskawin semasa mereka menikah dulu. Sab merasa, ia harus tahu yang sebenarnya. Dengan berat hati, ia menitipkan ketiga anaknya ke rumah orang tuanya. Mereka melepas kepergian Sab dengan tangis berderai, mengingat mereka tidak pernah jauh dari Sab.
Betapa remuk redam hati Sab ketika ia melihat hal itu dengan kepalanya sendiri, yang seharusnya langsung berada di kontrakan yang disediakan oleh Wak Kisno, ia berbelok ke arah lain. Jun berjalan dengan sangat hati-hati, sesekali ia menoleh ke belakang, takut kalau ada orang yang mengikutinya. Dan itulah yang terjadi. Hati Sab terbakar amarah. Jun disambut seorang perempuan, mereka berciuman, kemudian berpelukan sebelum masuk ke dalam kontrakan yang juga petakan. Sejak itu, senyum Sab menghilang. Ia tak pernah membicarakan apa pun soal itu kepada suaminya.
Kejengkelannya semakin bertambah-tambah ketika ia melihat sebelum pulang, Sab melihat Jun memberikan beberapa lembar uang berwarna biru kepada perempuan itu, Jun pamit mereka berciuman dan saling memeluk satu sama lain.
Ia pendam semua itu. Dulu ia mengerti ketika Jun sepulang dari kota, ia akan mendengkur halus di depan ruang tengah. Sab mengerti. Namun sejak ia tahu, ada perempuan lain di sana, yang membuat Jun betah berlama-lama di kota, serasa ia selalu ingin memenggal kepalanya. Ia pendam sendiri segala kekesalannya, ditambah uang yang diberikan kepadanya lebih sedikit dari pada perempuan simpanannya itu.
Besok Jun akan kembali ke kota. Semalaman ia tidur dengan sangat nyenyak. Sab telah menitipkan anaknya kepada mamanya. Di hari itu ia hanya ingin berdua bersama suaminya.
Sejak pagi, Sab mengelus golok di belakang rumah. Kata suaminya, golok itu sewaktu-waktu bisa dipakai untuk membacok maling yang tertangkap. Atau membunuh binatang yang secara tak sengaja datang. ia elus dengan sentuhan seorang kekasih. Ia ambil golok itu, ia keluarkan dari sarungnya.
Bayangan-bayangan berkelebat, ketika Jun memeluk perempuan itu, ketika ia menciumnya, dan ketika Jun memberikan uang yang lebih banyak kepada perempuan itu dibandingkan dengan dirinya.
Ia mendekat ke arah Jun dengan golok yang mengkilat diterpa sinar lampu. Ada amarah yang sudah tak mampu ia bendung lagi. Dengan napas memburu, tangan yang gemetar demikian rupa, Sab mengayunkan golok tepat ke leher suaminya yang sedang tidur terlentang. Golok itu sudah sedemikian tajam. Sab telah meminta salah seorang tetangganya yang pandai mengasah untuk mengasahnya. Dengan memenggal kepalanya, mungkin saja segala penderitaan yang dialaminya berakhir. Lelaki itu tak sempurna, ia telah membuat cacat sebuah pernikahan yang utuh.
BIODATA PENULIS
Rumadi, lahir di Pati 1990. Menulis cerpen. Saat ini aktif di FLP Ciputat dan komunitas Prosatujuh. Cerpennya dimuat berbagai media cetak dan daring. Buku pertamanya yang akan terbit berjudul Melepaskan Belenggu akan diterbitkan oleh Penerbit Jagatlitera.