PENGARANG GAGAL
Apa yang kau lakukan pada hari ketika kau menyadari bahwa dirimu adalah seorang pengarang gagal? Faisal bangun dengan mata bengkak dan bibir kering karena dikuasai kesedihan, lantas memutuskan pergi ke Jombang dengan bus pertama yang bisa ia temukan. Tampangnya masih keruh ketika melompat ke dalam bus, dan ia memasang senyum kecut ketika kernet di pintu depan meneriakinya agar cepat-cepat masuk. Ia terhuyung sebelum sempat menemukan tempat duduk dan bus sudah tancap gas seakan dikejar setan.
Faisal menemukan dirinya berada di samping seorang lelaki enam puluhan yang cerewet minta ampun. Baru tiga detik Faisal menempatkan pantatnya di kursi, ia bahkan belum sempat menata tas di lantai agar kakinya tetap punya ruang lega, lelaki itu telah memamerkan gigi-giginya yang setengah kuning akibat asap rokok dan bertanya kemana Faisal hendak pergi.
Lelaki itu terus bicara sepanjang perjalanan. Ia bercerita tentang anak pertamanya yang menjadi perwira polisi di Jakarta, hampir direkrut menjadi penyidik KPK, namun lelaki itu berkata kepada anaknya bahwa menjadi penyidik KPK berarti memiliki banyak musuh dan si anak urung menerima tawaran itu. Lelaki itu juga bercerita tentang anak keduanya, seorang lelaki muda yang menjadi tentara dan kini sedang berada di Papua untuk menembaki para pemberontak dan gerombolan kriminal pengacau keamanan.
“Aku bersyukur kepada Tuhan,” kata lelaki itu, “untuk semua hal baik yang terjadi kepadaku, untuk anak-anak baik yang tidak hanya menjagaku, namun juga menjaga masyarakat dan negara kita.”
Faisal kesal, namun ia diam saja. Kondektur datang dan Faisal memasang tampang mengibakan, namun si kondektur tetap menarik uang karcis.
“Kenapa kau tidak menceritakan sesuatu yang menarik tentang dirimu?” kata lelaki di samping Faisal setelah mereka melewati Terminal Mojokerto.
“Tidak ada yang menarik tentang diriku,” kata Faisal. Ia berhenti sebentar. Namun kemudian ia memutuskan untuk bercerita tentang kecoak-kecoak di rumah kontrakannya.
Kecoak-kecoak itu banyak luar biasa, kata Faisal. Mereka ada di dalam sepatu yang baru diletakkan, di dalam panci, di kolong tempat tidur, di bawah lemari, di lubang pembuangan kamar mandi, di langit-langit kamar, di dalam mesin penanak nasi, pendeknya di semua tempat.
Beberapa dari kecoak itu bahkan menyelinap ke balik celana dalam yang dikenakan Faisal, dan sejumlah yang lain bersembunyi di sela-sela rambutnya.
Ketika sedang tidak punya hal yang mesti dikerjakan, Faisal menginjaki kecoak-kecoak itu. Cairan yang menyembur dari tubuh serangga yang hancur itu membuat lantai menjadi basah dan lengket. Namun, tak peduli seberapa banyak ia menginjak, kecoak-kecoak itu tidak pernah berkurang. Kadang-kadang, ia curiga bila kecoak-kecoak yang telah ia injak itu hidup kembali sesaat setelah ia membuangnya ke tempat sampah.
Beberapa hari yang lalu, ia membeli empat botol obat semprot serangga. Ia menghabiskan keempat botol itu dalam setengah jam, membuat rumah kontrakannya yang sempit penuh asap berbau menyengat. Faisal menutup seluruh pintu dan jendela, lantas menunggu di halaman selama hampir satu jam sampai asap dan bau itu menguap seluruhnya.
Ketika ia masuk ke dalam rumah setelah itu, ia melihat ribuan bangkai kecoak menutupi lantai. Sewaktu berjalan di atas bangkai untuk mengambil sapu, Faisal merasa tengah menginjak kasur dari bulu angsa yang lembut dan menenggelamkan. Ia berjingkat sambil menutup hidung, menahan mual dari perut yang bergolak.
Faisal mengira semua kecoak sudah mati. Namun tidak. Ia menemukan kecoak besar di antara mereka bergelantungan di blandar dapur, megap-megap antara hidup dan mati. Kecoak sebesar bocah sepuluh tahun itu menatap Faisal dalam-dalam lalu mengatakan bahwa ia tidak akan mati. Racun seperti itu tidak akan membunuhnya atau kecoak-kecoak yang lain.
Kecoak itu mengatakan ia hanya membutuhkan sedikit waktu untuk memulihkan diri.
Kecoak itu kemudian menawarkan perdamaian.
“Ia datang dari luar angkasa,” kata Faisal. “Kecoak itu, maksudku.”
Lelaki di sampingnya terpana.
“Pesawat yang menjemput mereka akan datang seminggu setelah itu. Dan ia menawariku untuk pergi bersamanya,” kata Faisal lagi. “Agar aku bisa memulai hidup baru di planet asalnya sebagai satwa unik di sebuah sirkus. Menurutnya, tak ada pilihan yang lebih baik buatku ketimbang itu. Tentu saja ia mengatakan itu karena tahu aku ini seorang pengarang gagal. Bayangkan, seekor satwa sirkus jauh lebih baik ketimbang menjadi pengarang gagal.”
Si lelaki tertawa. “Itu bukan hal baik,” katanya. “Lagipula, aku memintamu bercerita tentang dirimu, bukan omong kosong tentang dirimu.”
“Jadi,” kata si lelaki setelah mereka sama-sama diam. “Kenapa kau pergi ke Jombang? Mengunjungi keluarga?”
Faisal menggeleng.
“Adikku,” kata Faisal. “Menulis di Facebook hal-hal yang seharusnya tidak ia tulis. Kau tahulah, kecaman terhadap polisi yang meminta suap atau mengabaikan laporan, tagar percuma lapor polisi, dukungan terhadap orang-orang Papua yang meminta kemerdekaan. Hal-hal semacam itu.”
Faisal diam sejenak.
“Lantas orang-orang yang marah mendatangi dan merubungnya seperti kecoak-kecoak merubung kehidupanku, membawanya ke kantor polisi, mengancamnya dengan hukuman penjara akibat ujaran kebencian dan sebagainya.”
Lelaki di samping Faisal mendehem-dehem.
“Apa yang menurutmu bisa dilakukan orang seperti adikku?” kata Faisal lagi. “Meminta keadilan? Mengeluhkan hal itu kepada presiden?”
Lelaki di sebelah Faisal tampak tak nyaman. “Maksudku, kenapa kau pergi ke Jombang?” kata si lelaki menegaskan pertanyaannya, sekaligus membelokkan pembicaraan Faisal.
“Ya,” kata Faisal. “Tentu saja yang bisa orang-orang seperti kami lakukan adalah mengeluh kepada presiden. Namun, karena presiden yang masih hidup sedang sibuk membersihkan gorong-gorong dan membagi-bagikan sepeda, aku memutuskan untuk mengadukan hal itu kepada presiden yang sudah mati. Aku pergi ke Jombang untuk berziarah ke makam Gus Dur,” tambahnya.
“Kau mengada-ada,” kata lelaki di samping Faisal. Lantas tertawa.
Namun Faisal memang berniat pergi ke makam Gus Dur. Sebelum turun dari bus, ia melihat lelaki di sampingnya duduk menundukkan kepala, tampak tak nyaman dengan kehadiran Faisal. Dan itu menimbulkan perasaan kasihan dalam diri Faisal.
“Banyak orang menganggapnya gagal ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur itu maksudku,” kata Faisal. “Namun kini semua orang menganggapnya orang suci. Kau tahu, aku ini pengarang gagal. Novel-novelku tak mendapat sambutan, aku jatuh miskin, dan aku putus asa,” lanjutnya.
“Namun mungkin semua akan berubah jika aku meninggal,” katanya kemudian. “Yang aku rencanakan akan terjadi dua atau tiga hari lagi,” tambahnya.
Lelaki di sampingnya menoleh.
“Apa maksudmu?”
“Seperti Gus Dur. Pandangan orang berubah setelah ia meninggal. Aku ke sana untuk ngalap berkah, meminta karomahnya,” kata Faisal.
Faisal mengetuk-ngetuk atap bus. Faisal bangkit. Ia sudah harus turun.
Biodata Penulis:
Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Buku terbarunya, Cara Kerja Ingatan, merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Ia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.