Ladang Kering
Sawah dan irigasi beralih fungsi
sengkedan meracau luapan air bah
menyeret muntahan bumi ke permukaan
menangis seisi bumi menghujat sang pemilik
Ladang-landang gandum telah kering kerontang
tiada hijau di ladang tandus
merekah tanah subur
cacing-cacing berselimut kafan
Gunung-gunung mulus tanpa rambut
sisir tiada kuasa merapikan kulit
subur hanya nostalgia era otoriter
gerah silam di puncak pendakian
Milenial tertatih menimba air di sumur
lupa cara menarik dan menjatuhkan
gayung diberi seutas tali panjang
disangka memancing di lautan bebas
Ikan-ikan berenang di air asin
sementara lautan berjarak setahun berjalan
siripnya semakin panjang dan tajam
insangnya tinggi menjulang ke langit
Batang pohon indah di pekarangan kastil
burung-burung hinggap tidak lagi di jendela
bola mata hitam tanpa putih
cakarnya tumpul paruhnya tajam
Menjadi Manusia
Aku manusia, dia manusia
Kamu manusia, kalian manusia
Kita manusia, mereka manusia
Kami manusia, dan mati sebagai manusia
Warna kulit, terang dan gelap
Warna mata, cerah dan kelabu
Sentuhan yang sama ciptaan tuhan
Tatapan yang sama anugerah tuhan
Tapi mengapa kita berbeda
Aku bertuhan dan engkau pun iya
Engkau tak bertuhan tapi itulah tuhanmu
Aku menghargai yang tak bertuhan
Dan engkau pun menghargai yang bertuhan
Tapi mengapa kita berbeda
Aku berbahasa dan engkau pun berbahasa
Meski logat tuturan tak sama
Aku tetap menatap dan bernyanyi bersama
Terkadang aku lelah berbahasa
Tapi kita tetap bersuara
Dan tiada satu hati berhasrat berselisih
Diam di antara dua pesona
Merajuk asa pengabdian diri
Dibalut angan-angan Pancasila
Aku menanti persaudaraan
Mengadili dan diadili dalam majelis
Memandang tak seperlunya sinis
Mendengar tak seperlunya
Berbicara sarkastis
Karena aku adalah kamu yang terpisah
Merayakan syahdu bulan purnama
Di bawah guyuran hujan malam
Tanpa awan dan tanpa gelisah
Terhadap kepastian, purnama dibalut kasih hujan
Bertemu dan rindu
Yang terdekat adalah yang terjauh
Ia bertemu setahun sekali
Sekali bertemu melepas rindu
Rindu menjadi-jadi
Tapi apa jadinya jika ia terhalang yang tak pasti
Anti terhadap yang empati
Memanggil yang sehati, ternyata sesusah mengumpulkan yang terkasih
Entah ia berlalu atau enggan dilalui
Mungkin saja benar apa kata mereka
Andai tak pernah terjadi
Jadinya kita akan berjumpa
Menjadi api yang tak kunjung padam
Sembari menanti sesuatu yang pasti.
Hati-hatilah pada yang berarti
Karena bisa jadi hatinya berpaling
Aling saja semua pintu yang ada
Biodata Penulis:
Profil
Muhammad Fadli Muslimin adalah seorang penulis yang merupakan apresiator sastra berasal dari Makassar. Lahir di Ujung Pandang 12 Agustus 1991. Saat ini aktif sebagai pegiat sastra yang peduli pada perkembangan sastra di Indonesia secara akademik dan non-akademik.