NARASI 2021
Di pagi yang porak-poranda
media bersitegang pada kebijakan penguasa
peristiwa demi peristiwa seakan menjadi air yang mengalir ke hulu
mencari mangsanya untuk kematian
Di tengah riuhnya omong kosong
rakyat di paksa menjual tanah
sebagai modal kesejahteraan katanya
namun, kegirangan itu hanya sebagai tamu yang diam-diam merenggut nyawa tuan rumah
sementara dengung pembelaan terdengar dari sudut desa
ibu-ibu yang gagah menghadang para robot besi
dilumpuhkan suaranya.
ada yang menangis kehilangan saudara
ada yang meratap tak tahu tinggal di mana
bahkan ada yang merengang nyawa dari serakahnya senjata tukang bakso
Pemimpin yang gagah tak berkutik
kuat hanya pada belusukan saja
sementara rakyat memilihnya
berkuasa rakyat dibunuhnya.
Tuhan mengapa kau biarkan seringala itu menggonggong
hidup di bumi mu yang indah ini
mengapa kau sudi memelihara mereka
sedang tubuh kami sudah habis dicabiknya
hingga nyawa-nyawa beterbangan tanpa ada yang menggugat
IBU
maret minggu kedua
hidangan cantik terpancar pada senyumnya
ibu memberikan sepotong roti yang dihiasi dengan berwarna rindu
waktu itu saya baru menjama beberapa pelukan hangat
lima menit menjelang menyeduh kopi di samping rumah ayah
sementara Ramadan sangat dekat dengan pelabuhan
kali ini ibu benar-benar tak ikut untuk mengarunginya
sebab tiga tahun silam ia sudah menguras air mata
aku sudah pasrah, hanya bisa memelihara bercak-bercak waktu
derita yang kuat kini kutuliskan pada deretan surat kabar
setiap membacanya kembali aku melihat senyum ibu pada pada bait pertama puisi ini
dihamparan kota kasih ibu masih terjaga
ketika jalanan macet kubanyangkan ibu sedang menjahit bulan
yang terluka oleh rindu ayah yang sebenarnya lebih terluka dari aku
AYAH
Menjelang magrib langit mencetak jingga merona
menggunakan baju logam yang terbuat dari pagi
ayah datang dari pintu belakang
tanpa salam menyusuri dapur
beberapa lelah terjatuh ketika sandar dikursi buatannya sendiri
ayah sudah pulang setelah seharian bekerja untuk anaknya
juga senja yang berpamitan secara tragis
barangkali ayah ingin berbaring.
tak meninggalkan kata
sebait puisi, sepucuk surat juga hangat sapaannya
aku tahu tuhan telah meciptakan lelah ditubuhnya
semasa hidupnya memapah perut lapar anaknya
seluruh tubuhnya sudah menjadi kerja untuk keluarga
Biodata Penulis:
Reza Mahasiswa Universitas Tadulako Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, lahir di Ogotua pada tanggal 5 Juni 1999. Tinggal di desa Mekar Baru, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala.