Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

Artikel

“Yang Relevan dan Tidak Relevan dari Fiksi Masa Lalu” Oleh Aliurridha

Sebuah karya seni, tidak terkecuali sastra, selalu terikat pada zamannya. Hal ini berarti ia terikat pada ruang dan waktu ketika karya itu diciptakan. Begitu pula cerpen B. Soelarto yang berjudul Rapat Perdamaian[1] yang terikat pada ruang dan waktu ketika teks diproduksi.

Lewat pemilihan kata yang digunakan dapat diperkirakan kapan cerpen ini ditulis. Dari pemilihan kata ini bisa dilihat bahwa cerpen ini ditulis bukan pada masa-masa sekarang. Kata-kata seperti pemrasaran, dilambatkan, membilang, perikemanusiaan, melikwidir, napsu-angkara, menyedot hawa, dan khasiat sudah tidak ditemukan dalam karya sastra kontemporer. Mungkin juga kata-kata itu masih digunakan, setidaknya tidak untuk konteks seperti yang muncul pada teks.

Sebagai contoh kata dilambatkan pada narasi “ketua RK-II kedatangannya dilambatkan oleh sengketa rutin”. Kata dilambatkan terkesan janggal untuk digunakan pada masa kini. Akan lebih familiar jika ditulis “Ketua RK-II kedatangannya terlambat dikarenakan sengketa rutin”. Namun kata dilambatkan seperti pada teks ini tidak salah karena bahasa seperti halnya produk kebudayaan lain terikat pada ruang dan waktu.

Selanjutnya frasa menyedot-hawa juga terkesan janggal untuk konteks berbahasa kekinian. Dalam konteks kekinian kita pasti lebih memilih menggunakan menghirup udara atau menghirup oksigen alih-alih “menyedot hawa kuat-kuat” seperti yang muncul pada teks. Begitu juga pada frasa “tanpa mengurangi penghargaan atas pendapat saudara” yang terdengar begitu asing. Jika melihat konteks berbahasa kekinian, kata “hormat” harusnya muncul pada teks tersebut menggantikan penghargaan.

Selain dari pemilihan kata, munculnya fonem /p/ pada kata-kata yang seharusnya berfonem /f/ membuat saya menduga-duga ada pengaruh tuturan lisan pada cerita ini. Kata-kata seperti napsu, inisiatip, pitamin, propokasi, dan ditapsirkan muncul pada tuturan-tuturan para tokoh dalam cerpen. Setahu saya ada dua bahasa daerah yang tidak memiliki fonem /f/: yakni, bahasa Sasak dan Bahasa Sunda. Jadi sangat mungkin ada pengaruh dari bahasa ibu memungkinkan fonem /p/ menggantikan fonem /f/. Namun, itu terjadi jika B. Soelarto adalah orang Sasak atau Sunda atau setidaknya pernah tinggal di Lombok atau Jawa Barat, kemunculan fonem /p/ menggantikan fonem /f/ menjadi sesuatu yang wajar. Namun, saya tidak dapat menemukan sumber yang menyebutkan bahwa B. Soelarto merupakan orang Sunda atau Sasak atau setidaknya pernah tinggal di Lombok atau Jawa Barat. B. Soelarto lahir di Purworejo dan menjadi redaktur kebudayaan harian Tanah Air dan Daulat Rakjat yang terbit di Semarang.

Lalu, dari kata gisi yang muncul berbarengan dengan pitamin seperti dalam tuturan RK II “kurang gisi, eh kurang pitamin” membuat saya yakin bahwa bukan ruang yang mempengaruhi munculnya fonem /p/ menggantikan fonem /f/, melainkan waktu. Saya mungkin satu dari sekian yang beruntung karena masih sempat bertemu dengan kakek buyut saya ketika kecil dulu sehingga saya pernah mendengar beliau menyebut gisi alih-alih gizi.

Selain dari diksi yang digunakan, tema cerpen ini terpengaruh oleh situasi dan kondisi zamannya. Tema rapat perdamaian yang diusung cerpen ini muncul sebagai reaksi dari adanya perang dingin yang membagi dua blok besar: blok barat dan timur. Secara tematik cerpen Rapat Perdamaian mungkin sudah tikda relevan dengan situasi saat ini karena blok barat sudah menang dan blok timur tidak ada lagi. Meski begitu, isi cerpen ini tetap relevan dengan kondisi dan situasi saat ini. Bisa dilihat dari isi cerita yang merupakan sindiran keras terhadap laku pejabat publik yang pada cerita ini diwakili oleh RK I.

Sindiran pada RK-1 bahkan muncul sejak cerita dibuka. Diceritakan RK-1 yang terlambat karena harus membolak-balik kamus politik populer agar terlihat berwibawa saat mengucapkan istilah asing dalam rapat. Sindiran ini berlanjut dengan beberapa kali RK-1 salah sebut dan meralat apa yang disebutkannya seperti ketika ia mengatakan inisiasi yang kemudian diralat menjadi inisiatip. Narator terlihat betul berusaha menunjukkan bahwa RK-1 tidak benar-benar mengerti apa yang dikatakannya.

Sindiran pun ditingkatkan ketika RK-1 membela komunisme dengan mengatakan “komunis anti imperialis, antikapitalis, antikolonialis (dengan nada tinggi dan berapi) komunisme bersemangatkan pelopor ke jalan sosialisme. Kita sekarang sedang menuju pembentukan masyarakat sosialistis…”

Di sini narator menunjukkan dengan lebih gamblang bahwa penutur tidak tahu mana yang benar; seharusnya sosialis bukan sosialistis. Lalu dari apa yang dikatakan RK-1 juga bisa diketahui bahwa teks ini kemungkinan besar ditulis sebelum 65 atau paling tidak mengambil setting pra 65 karena hanya saat itu orang bisa memuji komunis tanpa dicap buruk.

Sindiran juga ditunjukkan lewat sebuah ironi atas apa yang disampaikan ketua RK-1 yang menginginkan membangun monumen perdamaian yang sebenarnya punya tujuan besar nan mulia, tetapi malah membuat ia bersitegang dan berkonflik dengan sesama warga. Ironi lainnya adalah ketika ia berbicara perdamaian dari perang antara kedua blok besar; blok barat dan timur yang tidak mungkin bisa melihat monumen yang akan dibangun pada sebuah desa kecil di negeri antah berantah yang bahkan tidak memiliki kekuatan militer yang diperhitungkan. Negeri yang masih kesusahan mengatasi kelaparan warganya. Bagaimana mau membangun perdamaian dunia kalau perang dengan perut masih kalah?

Sindiran kemudian mencapai klimaks ketika niat dan tujuan RK-1 diungkap bahwa bukan untuk perdamaian dunia tujuan ia ingin membangun monumen, melainkan agar ia bisa dipandang oleh partainya, partai buruh yang merupakan sayap-sayap partai komunis. Ia juga ingin agar fotonya bisa dipajang di koran-koran dan menjadi terkenal. Oleh karena itu, ketika pulang,  RK-1 begitu marah begitu tiba di rumah bininya sudah tertidur pulas. Dengan marah, ia membanting kamus politik populer yang nyatanya tidak juga menolongnya memenangkan musyawarah kampung.

Mungkin tema dan bahasa B. Soelarto sudah tidak relevan dengan masa sekarang. Namun, ceritanya perihal laku para pejabat publik tidak berbeda jauh dengan masa sekarang. Para pejabat publik, politisi, dan wakil rakyat memang punya kecendrungan laku seperti RK-1; di saat rakyat sedang kesusahan, ia malah ingin meminta sumbangan untuk membangun monumen perdamaian. Mereka—para pejabat publik, politisi, dan wakil rakyat—berpikir kelewat besar melampaui batasan yang mereka mampu, suka melebih-lebihkan sesuatu, dan seringnya itu tidak benar-benar mewakili suara rakyat. (*)

[1] Cerpen Rapat Perdamaian mendapat hadiah dari Masyarakat Sastra tahun 1961

BIODATA PENULIS

Aliurridha, penerjemah dan pengajar penerjemahan di Universitas Terbuka. Ia menulis esai, puisi, dan cerpen. Karyanya tersebar di berbagai media seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos, Republika, Pikiran Rakyat, Solopos, Rakyat Sultra, dll. Ia bergiat di komunitas Akarpohon.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *