Balai Bahasa Sulawesi Tengah

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

KI HAJAR DEWANTARA DAN TRIGATRA BANGUN BAHASA
Artikel

KI HAJAR DEWANTARA DAN TRIGATRA BANGUN BAHASA

KI HAJAR DEWANTARA DAN TRIGATRA BANGUN BAHASA

Firman A.D.

            Jika kita menyebut nama Ki Hajar Dewantara tentu perhatian kita akan langsung tertuju pada Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei. Tokoh pahlawan yang banyak mencurahkan pikiran dan ide di lapangan pendidikan sehingga dikenal juga sebagai Bapak Pendidikan Nasional bagi seluruh bangsa Indonesia. Ide-ide beliau tertuang dalam tulisan yang tersebar terserak di berbagai media, seperti majalah, brosur, surat kabar, dan berbagai terbitan serta yang tersimpan di museum-museum, baik di Indonesia maupun di Belanda. Ada beberapa yang dihimpun dan disusun menjadi buku, di antaranya yang diterbitkan dalam tiga jilid buku pada tahun 1962 yang diberi judul Karja Ki Hadjar Dewantara yang diusahakan oleh Taman Siswa. Buku pertama mengenai pendidikan dan pengajaran, buku kedua tentang kebudayaan, dan buku ketiga mengenai politik, jurnalistik, dan kemasyarakatan. Tulisan ini akan menukil bagian kecil dari buku pertama tentang pendidikan dan pengajaran. Dalam buku pertama, ada buah pikiran yang digoreskan oleh beliau mengenai bahasa. Ide-ide mengenai bahasa yang dibentangkan dalam buku tersebut berupa artikel yang ditulis antara tahun 1933—1952.

            Ide mengenai bahasa yang tertuang dalam karya-karya Ki Hajar Dewantara sudah mencakupi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Walaupun saat itu, Indonesia belum memproklamasikan kemerdekaan, pembahasan mengenai bahasa Indonesia sebagai bahasa pergerakan dan bahasa persatuan sudah ramai dibicarakan. Hal tersebut dipicu oleh adanya Sumpah Pemuda (1928) dan Kongres Bahasa Indonesia (1938).

            Apa kaitannya dengan Trigatra Bangun Bahasa (utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing), slogan yang sering digaungkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa? Walaupun pada masa Ki Hajar Dewantara belum dikenal istilah Trigatra Bangun Bahasa, semangat dan jiwa ke arah slogan tersebut sudah ada. Dalam salah satu artikel yang berjudul “Hanja bahasa Indonesia Berhak Mendjadi Bahasa Persatuan ( 1938)”,  ia menuliskan prasaran mengenai posisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Isi pokok prasaran tersebut adalah: 1) demi persatuan bangsa Indonesia hanya bahasa Indonesialah yang berhak menjadi bahasa persatuan; 2) bahasa Indonesia yaitu bahasa yang berasal dari bahasa Melayu Riau, akan tetapi sudah disesuaikan dan diperkaya berdasarkan kebutuhan zaman; 3) lembaga-lembaga pendidikan di daerah yang daerahnya memiliki bahasa (daerah) sendiri, yang dipelihara baik oleh penuturnya untuk keperluan masyarakat dan kebudayaan, harus tetap dipergunakan sebagai bahasa perantara di dalam lembaga tersebut. Akan tetapi wajib juga mengajarkan bahasa Indonesia karena alam Indonesia tidak hanya alam daerah, tetapi buat semua bangsa yang beralam baru, alam Indonesia yang luas. 

            Setahun setelah Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta, berdasarkan beberapa artikel yang ditulis oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa masyarakat kita pada masa itu juga diperhadapkan pada tiga jenis bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Ia memberikan pandangan bahwa dengan mempelajari bahasa sendiri kita memiliki basis yang sekodrat untuk berdiri sebagai anggota dari masyarakat kemanusiaan. Sementara itu, pengajaran bahasa asing memberi kesempatan kepada kita untuk menambah kekayaan budi kebangsaan dengan beberapa “nilai kebatinan” dari bangsa-bangsa lain, yang mempunyai “benda-jiwa” sendiri-sendiri yang khusus. Pandangan tersebut mengarahkan kita untuk mempelajari bahasa apa pun tanpa harus meninggalkan bahasa yang menjadi identitas kita. Semakin banyak bahasa yang dikuasai akan semakin memperkaya pengetahuan dan membuka cakrawala berpikir.

            Mencuatnya permasalahan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing juga terjadi pada masa awal kemerdekaan. Pada masa 1950-an, keberadaan bahasa persatuan dan bahasa daerah juga sudah memunculkan beberapa pandangan yang pro dan kontra atau perbedaan paham. Ada orang-orang yang sama sekali tidak mufakat akan diberikannya tempat untuk bahasa daerah, baik sebagai bahasa perantara maupun sebagai mata pelajaran di sekolah. Ada juga yang membolehkan bahasa-bahasa daerah masuk sebagai mata pelajaran. Sebaliknya, ada juga orang-orang yang menuntut “otonomi kultural” sepenuhnya, yakni menghendaki bahasa daerah sebagai bahasa utama di samping bahasa persatuan.

            Berkaitan dengan pro dan kontra tersebur, Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa membuang atau mengabaikan bahasa-bahasa daerah akan sangat merugikan bangsa kita dalam arti kultural. Karena rasa kebudayaan itu sangat kuat terpatri dalam jiwa manusia, seperti juga rasa keagamaan sebagai paham atas pandangan hidup manusia. Kerugian kultural itu dapat juga menjalar menjadi kerugian politik.  

            Adanya paham yang tidak suka akan adanya bahasa daerah di samping bahasa persatuan menurutnya sungguh suatu paham koservatif, kolot, dan menyalahi kodrat keadaan. Pandangan ketikdaksukaan itu didasari oleh adanya ketakutan karena dapat menyusahkan anak-anak dari suatu daerah yang pindah sekolah ke daerah lain yang berbahasa lain. Untuk mencerahkan penganut pandangan tersebut, ia kemudian mencontohkan pengalaman di sekolah-sekolah Taman Siswa, masalah itu tidak pernah menimbulkan kesukaran yang tidak bisa diatasi.

            Bagaimana dengan bahasa asing? Beliau berpandangan bahwa semua bahasa asing yang perlu untuk memperkaya atau mengembangkan kebudayaan kita, harus mendapat tempat yang tepat dan pasti di dalam susunan pengajaran kita agar kelak anak-anak dapat mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang tertulis dalam bahasa asing maupun untuk meneruskan pelajaran di luar negeri. Namun, ia secara tegas tidak menyetujui anak-anak kita mempelajari bahasa asing semata-mata untuk tujuan materialistis dan dipergunakan sebagai alat perburuhan belaka. Pengajaran bahasa yang demikian sama sekali tidak berguna untuk pendidikan, bahkan amat merintangi tumbuhnya watak luhur. Intinya, belajarlah bahasa asing untuk memperkaya pengetahuan dan mencapai tujuan kultural, yakni mepertinggi derajat manusia.

            Negara seperti Indonesia yang dihuni oleh berbagai suku dan memiliki beratus-ratus bahasa daerah penting untuk melahirkan sebuah kebijakan yang berkaitan dengan adanya bahasa penghubung dan penyatu dari berbagai suku tersebut. Sangat sulit jika seandainya setiap suku menggunakan bahasa masing-masing dalam berkomunikasi dengan suku lain. Kita dapat membayangkan sendiri apa yang akan terjadi jika seandainya hal tersebut terjadi. Munculnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan menjadi berkah bagi bangsa Indonesia dalam merekatkan keberagaman bahasa. Pada sisi lain, eksistensi bahasa daerah juga tidak dapat diabaikan, karena dapat menghadirkan perpecahan jika tidak dikelola secara baik dan seimbang. Ditambah lagi dengan bahasa asing sebagai bahasa yang juga perlu dikuasai untuk tujuan komunikasi antarnegara. Inilah wajah situasi kebahasaan Indonesia dari dulu hingga saat ini. Ide-ide Ki Hajar Dewantara dalam upaya menyeimbangkan eksistensi ketiga bahasa tersebut, khususnya dalam lapangan pendidikan, sungguh suatu perjuangan yang sangat terpuji. Walaupun zaman berubah, ide-ide beliau tetap tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia sampai saat ini.

BIODATA PENULIS:

Firman A.D. berdomisili di Kota Kendari. Selain sebagai pengelola komunitas Rumah Buku Firza, ia aktif meneliti bahasa dan menulis artikel ilmiah dan esai kebahasaan yang dimuat di beberapa media cetak. Saat ini, ia bergabung di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

5 COMMENTS

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *